Sabtu, 20 Juli 2013

CANDI JIWA DAN CANDI BLANDONGAN








 Sejarah Candi Jiwa
Karawang sebagai salah satu kota di pesisir utara Jawa Barat selama bertahun-tahun telah dikenal sebagai lumbung beras nasional, Namun sebenarnya prestasi kota ini tidak sekadar sebagai penghasil beras semata. Pada zaman perang kemerdekaan, kota ini mengukir sejarah ketika sekelompok pemuda mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia dengan membawa Soekarno Ke Rengas Dengklok. Dan hasilnya, sehari setelah peristiwa tersebut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kini rumah ketika Soekarno pernah diungsikan tersebut masih dapat ditemukan tidak jauh dari pasar Rengas Dengklok. Dalam perkembangannya ternyata Karawang juga menyimpan potensi sumberdaya arkeologi yang sangat besar sejak masa prasejarah, klasik sampai masa Islam tumbuh dan berkembang di Jawa Barat. Dua situs dari masa klasik yakni Batujaya dan Cibuaya, sampai saat ini setidaknya memiliki 30 buah lokasi yang diduga merupakan bangunan candi dari masa Kerajaan Tarumanagara sampai Sunda. Satu jumlah yang berlum tertandingi oleh daerah lain di Jawa Barat dan tentu tidak berlebihan jika Karawang mendapat julukan sebagai Lumbung Candi di Jawa Barat.

Kependudukan
Masyarakat di daerah ini pada umumnya hidup dari bercocok tanam. Oleh karena itu, sebagian besar lahan di daerah Batujaya digunakan untuk areal persawahan irigasi. Pola tanam padi sebanyak dua kali setahun dan pola tata air yang baik menyebabkan daerah ini subur dan menjadi tulang punggung bagi penyediaan beras. Tak heran jika wilayah Karawang yang mempunyai luas wilayah sekitar 3120 Km ini dikenal sebagai lumbung padi nasional.
Di samping bercocok tanam, masyarakat yang tinggal di daerah pantai umumnya hidup sebagai nelayan tradisional. Tampaknya dua jenis pekerjaan ini merupakan keahlian yang telah dilakukan secara turun temurun dari leluhur mereka. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian arkeologi di Komplek Percandian Batujaya yang menemukan bandul jaring dan sisa-sisa kulit kerang pada bata - bata candi.
Dari catatan pemerintah Kolonial Belanda, pada tahun 1684 M daerah ini hanyalah berupa rawa-rawa yang tidak berarti. Baru pada tahun 1706 M atas perintah pemerintah Kolonial Belanda, daerah ini dibersihkan dan dijadikan areal persawahan dan perkebunan. Artinya, sejak runtuhnya Komplek Percandian Kegiatan menanam padi dengan latar belakang candi Blandongan Batujaya, daerah ini menjadi tidak berarti dan baru mendapat perhatian kembali pada akhir abad ke-17 M.

Lokasi


Situs Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar lima km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di dekat permukiman penduduk dan tidak berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (pantai Ujung Karawang). Batujaya kurang lebih terletak enam kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter di utara Ci Tarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keadaan situs sekarang karena tanah di daerah ini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan.
Lokasi percandian ini jika ditempuh menggunakan kendaraan sendiri dan datang dari Jakarta, dapat dicapai dengan mengambil jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol Karawang Barat dan mengambil jurusan Rengasdengklok. Selanjutnya mengambil jalan ke arah Batujaya di suatu persimpangan. Walaupun jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar 50km dari Jakarta, waktu tempuh dapat mencapai tiga jam karena kondisi jalan yang ada.

Penelitian
Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau unur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya 1, dan seterusnya.
Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi) dan sampai saat ini masih banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat keagamaan, bentuk, dan pola percandiannya. Meskipun begitu, dua candi di Situs Batujaya (Batujaya 1 atau Candi Jiwa, dan Batujaya 5 atau Candi Blandongan) telah dipugar dan sedang dipugar. Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara. Juru kunci situs batujaya ini yang sekaligus menjadi pengurus bernama Pak Kaisin Kasin.

Kamis, 09 Mei 2013



Pohon Aneh di Kampung Jambe Gunung Sanggabuana
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Karawang sendiri berharap para arkeolog melakukan penelitian mengenai keberadaan batu karut yang disertai dengan sejumlah prasasti di kaki Gunung Sangga Buana tersebut.
Diketahui, mulai dari tapak kaki Bojongmanggu lalu melintasi petilasan Raden Anom Wirasuta, mata air Cikahuripan, tapak Kaki di perbatasan Purwakarta dan Desa Kutamaneuh Kecamatan Tegalwaru, dan terakhir ke tempat yang disebut Arca Parigi, Desa Kutamaneuh, merupakan rangkaian jejak purba di Tegalwaru. di Pelataran punden berundajk ditemukan pohon yang tidak bisa digergaji"Jika dilihat dari tumpukan batunya, merupakan tumpukan batu yang sengaja ditumpuk oleh manusia untuk tempat peribadatan di zaman tersebut, serta kemungkinan di tempat tersebut masih banyak peninggalan pendukung tempat itu," tutur kepala Desa mekarbuana Tegalwaru
(6 foto)

Di Kaki Gunung Sanggabuana ditemukan prasasti Jaman Prasejarah
Diberitakan sebelumnya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karawang, berharap para arkeolog melakukan penelitian mengenai keberadaan batu karut yang disertai dengan sejumlah prasasti di kawasan Gunung Rungking, maupun Gunung Sanggabuana dan sekitarnya. "Keberadaan menhir (batu karut) yang disertai dengan sejumlah prasasti itu perlu diteliti para ahli, apakah benar ada peninggalaan jaman Pra Sejarah
Tetapi untuk sementara, kata dia, pihaknya menyimpulkan keberadaan batu karut dan adanya sejumlah bebatuan yang merupakan prasasti di kaki Gunung Sangga Buana tersebut merupakan tanda peninggalan Jaman Pra sejarah, karena peralatan dibuat dari batu-batuan prasasti prasejarah keterangan dari Arkeolog
Menurut dia, diantara contoh dasarnya ialah batu-batu atau prasasti yang berada pada hamparan tanah seluas lebih dari 1 hektare di kaki Gunung Sangga Buana yang dikeliling batu-batu alam. Di antara hamparan tanah itu juga terdapat beberapa menhir-menhir kecil. Kemudian tidak jauh dari hamparan tanah yang di keliling bebatuan itu terdapat batu karut. Antara hamparan tanah yang di keliling bebatuan dengan keberadaan batu karut tersebut terdapat sungai kecil. "Secara teori, ciri khas batu-batu yang mengelilingi hamparan tanah itu juga menandakan peninggalan Pra sejarah, mirip punden berundak tempat sembayang jaman prasejarah Sama dengan jenis batu Jaman prasejarah lain yang ditemukan di daerah lain," kata kata arkeolog dari Cagar Budaya serang
Atas hal tersebut, untuk sementara pihaknya menyimpulkan hamparan tanah yang di kelilingi dengan bebatuan itu dahulunya merupakan tempat sembahyang atau tempat masyarakat di Jaman prasejarah abad ke 1 menyampaikan jampi-jampi atau mantra. Tetapi untuk membuktikan kesimpulan sementara itu, kata Kepala Desa, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut oleh para pakar, seperti arkeolog. menetukan waktu yang cukup lama untuk menelitinya.(hasil Survei H.Anton NZ)
(7 foto)